Saat itu sedang terang bulan.
Purwakarta, hampir tengah malam.
Saat itu aku sedang di tepi jalan menunggu bis yang menuju
kota tempat tinggalku, Bekasi.
Satu jam lebih bis tak kunjung datang.
Untungnya aku tak sendiri, ada seorang pria paruh baya yang
sedang menunggu bis tujuan yang sama denganku.
Kami berbincang untuk membunuh rasa bosan karena bis tak
kunjung datang.
Waktu terus bergulir, rasa bosan mulai berubah menjadi rasa
kesal.
Kami sudah tidak betah, gelisah!
Tok.. tok.. tok
Terdengar suara pentungan tukang bakso.
Teman mengobrolku ternyata tertarik dan memutuskan untuk
memesan semangkuk bakso.
Mungkin ia lapar, atau mungkin hanya untuk menjinakan rasa
kesal.
Saya.. saya juga ingin memesan semangkuk bakso itu, bukanya
saya lapar, tetapi hanya sekadar menjinakan rasa bosan.
Namun apa daya, uang kertas di dompetku hanya cukup dapat
ditukar dengan ongkos pulang.
Akhirnya kubiarkan saja setan bosan bermain-main dengan
diriku.
Belum selesai tukang bakso menyuguhkan hidangan, “harapan”
itu pun datang.
Ya apalagi kalau bukan bis jurusan Bekasi.
Aku dengan sigap menaiki bis dan duduk di kursi bis yang
empuk,, aku tersenyum.
Tapi tunggu.. hey kemana teman ngobrolku??
Ternyata ia lebih memilih menunggu lebih lama dan memakan
semangkuk baksonya.
Ya.. dia tidak ikut naik bis, padahal bis inilah yang ia
tunggu selama hampir 2 jam lamanya.
Entah apa yang ada di pikirannya, mungkin ia pikir bahwa
semangkuk bakso lebih berharga daripada waktunya.
Entah bagaimana kelanjutan kisah teman ngobrolku itu,
padahal kondektur mengatakan ini adalah bis terakhir pada hari ini.
Ingin rasanya aku berteriak di dalam bis malam ini sampai
terdengar oleh teman ngobrolku itu:
Sudah tinggalkan saja baksonya!
Tapi yasudah lah.. bis ini sudah sangat jauh meninggalkan ia
yang sedang menikmati semangkuk bakso
dibawah indah terang bulan langit Purwakarta.
0 komentar:
Posting Komentar