Kala Dunia tak Seperti Dulu Lagi
Ku berjalan menapaki hari
Di pagi hari
Kulihat betapa indahnya bumi ini
Saat bumi tebarkan pesonanya
Embun di pagi hari
Burung camar terbang melayang
Dan langit pun membuka tirai gelapnya
Seakan tersenyum menyambut hari ini
Relung jiwa yang sepi
Perlahan terobati
Kala ku tatap dunia ciptaan-Nya
Saat bumi tebarkan pesonanya
Bentuk cinta kepada mahluknya
Saat langit membuka lenteranya
Saat itulah ku membuka hari
Meninggalkan gubuk tua nan sederhana
Menuju sekolah di Pojok kota
Menyusuri bukit demi bukit
Melewati jalan terjal dan berliku
Tak apa bagiku asalku dapat menuntut ilmu
Bekal untuk masa depan
Sesampainya di sekolah. Tak lama bel pun berbunyi..
Kring..Kring..Kring..Menandakan Pelajaran akan dimulai.
Kelas pun mulai ramai…Menunggu datangnya sang pengajar...
Timbul tanya dalam benakku..
Apa gerangan yang kudapat hari ini?
Di hari pertama masuk sekolah..
Ketika ruang belajar tak ayal layaknya taman bermain..
Sang pengajar datang…Sekejap Kelas meninggalkan sepi...
Murid-murid pun duduk di kursi dengan rapi…
Sang pengajar pun menyapa dengan senyum ramah di pipinya...
Kita pun membalasnya…Menghangatkan pagi yang dingin…
Menyegarkan pikiran yang keruh..
Memulai pelajaran dengan suka cita..
Sang pengajar pun menorehkan kapurnya
Mengamalkan ilmu untuk kita semua
Saat kita sibuk menggoreskan pena
Awan pun meredup…Tanda hujan akan turun..
Dan benar…Hujan pun turun seketika itu..
Desakan air membasahi pipiku dari atap sana
Ruang terasa mati…Kala hujan membasahi pipi..
Pelajaran sejenak terhenti…Kala matahari terselimuti..
Oleh kegelapan nan dingin ini…Ruang tak ada yang menyinari..
Guru pun sentak berhenti menorehkan kapur yang penuh arti
Menyuruh kita tuk kembali
Sebelum hujan jadi petaka
Bergegas kita selamatkan diri
Menuju tempat kita bernaung
Sungguh pilu ku melihatnya.Hingga rasa sesak di jiwaku.
Saat ku tatap ke sebelah sana.Canda tawa mendadak sirna.
Kala air bisa seganas ini
Kala ini telah terjadi
Tak ada yang bisa memawangi
“Penguasa bumi yang Agung,Hentikanlah Angkara-Mu!”
Sungguh miris rasa hatiku
Kala ku tatap ke sebelah sana
Pohon-pohon tumbang.Hewan-hewan pun kehilangan habitatnya.
Rumah-rumah pun dibuat mengapung.
Bantaran kali jadi tempat tuk berlindung.
Tak ada lagikah tempat mereka tuk bernaung ?
Sungguh pilu relung jiwaku
Kala ku tatap di jalan sana
Anak-anak jadi aset berharga
Memburu kepingan yang berharga
Untuk makan hari ini saja
Sungguh tak terbayangkan bagiku
Kala kini hujan besar melanda
Kemanakah mereka pergi tuk bertahan ?
Di bawah jembatan layang
Gubuk-gubuk di tanah sengketa
Tepian rel kereta api
Dengan tidur beralaskan kardus dan beratapkan bintang-bintang
Beginikah nasib tinggal di ibukota ? Bagi mereka yang tak punya
Ironi ini memuakkan hatiku
Kala birokrasi kuasai negeri
Suap sana suap sini
Jadi makanan sehari-hari
Keadilan berganti posisi
Untuk para kaum tirani
Petinggi negeri
Elite politik
Kaum borjuis
Diperlakukan bak selebritis
Hakim agung Dibuat seperti dalang
Yang menceritakan dongeng diatas kebenaran
Ini semua bisa terjadi
Saat ‘MATREALISTIS’ jadi semboyan sejati
Apakah jadinya negeri ini ?
Kala manusia korbankan jati diri
Gadis-gadis jadi komoditi
Anak-anak dijadikan aset
Penguasa sibuk dengan citra diri
Dan kita hanya bisa berteriak tanpa ada yang mendengar
Apakah jadinya negeri ini ?
Amanah RAKYAT digantikan amanah PASAR
Pajak melambung tinggi
Harga sembako tak terkendali
Pendidikan menjadi barang komersil
Semua harga merangkak naik
Membuat kita semakin terpuruk
Terjebak diantara jurang kemiskinan dan kebodohan
Dan mencekik kita pelan-pelan
Dimanakah kau wahai para petinggi ?
Tidakkah kau dengar jeritan hati ini ?
Dan apakah jadinya negeri ini ?
Saat bumi tak lagi dijaga
Sampah memenuhi seisi kota
Langit biru tak terlihat lagi dan berubah menjadi sesak
Air bersih sulit untuk didapatkan
Rindangnya pohon berganti megahnya gedung
Bisakah kita memberikan sedikit ruang untuk bumi bernapas ?
Mungkin inilah yang terjadi
Kala kemiskinan menghantui
Kala rasa lapar kuasai diri
Kala keserakahan menggerogoti diri
Kala kebodohan meliputi diri
Kala penguasa sibuk citrakan diri
Kala keadilan selangka permata
Kala kita tak peduli sesama
Kala ku tutup buku harianku
Ku hanya bisa berteriak tanpa ada yang mendengar
Kala dunia tak seperti dulu lagi
ditulis oleh :
Tommy Nugraha Wahyudin
XII TKJ 4
Ku berjalan menapaki hari
Di pagi hari
Kulihat betapa indahnya bumi ini
Saat bumi tebarkan pesonanya
Embun di pagi hari
Burung camar terbang melayang
Dan langit pun membuka tirai gelapnya
Seakan tersenyum menyambut hari ini
Relung jiwa yang sepi
Perlahan terobati
Kala ku tatap dunia ciptaan-Nya
Saat bumi tebarkan pesonanya
Bentuk cinta kepada mahluknya
Saat langit membuka lenteranya
Saat itulah ku membuka hari
Meninggalkan gubuk tua nan sederhana
Menuju sekolah di Pojok kota
Menyusuri bukit demi bukit
Melewati jalan terjal dan berliku
Tak apa bagiku asalku dapat menuntut ilmu
Bekal untuk masa depan
Sesampainya di sekolah. Tak lama bel pun berbunyi..
Kring..Kring..Kring..Menandakan Pelajaran akan dimulai.
Kelas pun mulai ramai…Menunggu datangnya sang pengajar...
Timbul tanya dalam benakku..
Apa gerangan yang kudapat hari ini?
Di hari pertama masuk sekolah..
Ketika ruang belajar tak ayal layaknya taman bermain..
Sang pengajar datang…Sekejap Kelas meninggalkan sepi...
Murid-murid pun duduk di kursi dengan rapi…
Sang pengajar pun menyapa dengan senyum ramah di pipinya...
Kita pun membalasnya…Menghangatkan pagi yang dingin…
Menyegarkan pikiran yang keruh..
Memulai pelajaran dengan suka cita..
Sang pengajar pun menorehkan kapurnya
Mengamalkan ilmu untuk kita semua
Saat kita sibuk menggoreskan pena
Awan pun meredup…Tanda hujan akan turun..
Dan benar…Hujan pun turun seketika itu..
Desakan air membasahi pipiku dari atap sana
Ruang terasa mati…Kala hujan membasahi pipi..
Pelajaran sejenak terhenti…Kala matahari terselimuti..
Oleh kegelapan nan dingin ini…Ruang tak ada yang menyinari..
Guru pun sentak berhenti menorehkan kapur yang penuh arti
Menyuruh kita tuk kembali
Sebelum hujan jadi petaka
Bergegas kita selamatkan diri
Menuju tempat kita bernaung
Sungguh pilu ku melihatnya.Hingga rasa sesak di jiwaku.
Saat ku tatap ke sebelah sana.Canda tawa mendadak sirna.
Kala air bisa seganas ini
Kala ini telah terjadi
Tak ada yang bisa memawangi
“Penguasa bumi yang Agung,Hentikanlah Angkara-Mu!”
Sungguh miris rasa hatiku
Kala ku tatap ke sebelah sana
Pohon-pohon tumbang.Hewan-hewan pun kehilangan habitatnya.
Rumah-rumah pun dibuat mengapung.
Bantaran kali jadi tempat tuk berlindung.
Tak ada lagikah tempat mereka tuk bernaung ?
Sungguh pilu relung jiwaku
Kala ku tatap di jalan sana
Anak-anak jadi aset berharga
Memburu kepingan yang berharga
Untuk makan hari ini saja
Sungguh tak terbayangkan bagiku
Kala kini hujan besar melanda
Kemanakah mereka pergi tuk bertahan ?
Di bawah jembatan layang
Gubuk-gubuk di tanah sengketa
Tepian rel kereta api
Dengan tidur beralaskan kardus dan beratapkan bintang-bintang
Beginikah nasib tinggal di ibukota ? Bagi mereka yang tak punya
Ironi ini memuakkan hatiku
Kala birokrasi kuasai negeri
Suap sana suap sini
Jadi makanan sehari-hari
Keadilan berganti posisi
Untuk para kaum tirani
Petinggi negeri
Elite politik
Kaum borjuis
Diperlakukan bak selebritis
Hakim agung Dibuat seperti dalang
Yang menceritakan dongeng diatas kebenaran
Ini semua bisa terjadi
Saat ‘MATREALISTIS’ jadi semboyan sejati
Apakah jadinya negeri ini ?
Kala manusia korbankan jati diri
Gadis-gadis jadi komoditi
Anak-anak dijadikan aset
Penguasa sibuk dengan citra diri
Dan kita hanya bisa berteriak tanpa ada yang mendengar
Apakah jadinya negeri ini ?
Amanah RAKYAT digantikan amanah PASAR
Pajak melambung tinggi
Harga sembako tak terkendali
Pendidikan menjadi barang komersil
Semua harga merangkak naik
Membuat kita semakin terpuruk
Terjebak diantara jurang kemiskinan dan kebodohan
Dan mencekik kita pelan-pelan
Dimanakah kau wahai para petinggi ?
Tidakkah kau dengar jeritan hati ini ?
Dan apakah jadinya negeri ini ?
Saat bumi tak lagi dijaga
Sampah memenuhi seisi kota
Langit biru tak terlihat lagi dan berubah menjadi sesak
Air bersih sulit untuk didapatkan
Rindangnya pohon berganti megahnya gedung
Bisakah kita memberikan sedikit ruang untuk bumi bernapas ?
Mungkin inilah yang terjadi
Kala kemiskinan menghantui
Kala rasa lapar kuasai diri
Kala keserakahan menggerogoti diri
Kala kebodohan meliputi diri
Kala penguasa sibuk citrakan diri
Kala keadilan selangka permata
Kala kita tak peduli sesama
Kala ku tutup buku harianku
Ku hanya bisa berteriak tanpa ada yang mendengar
Kala dunia tak seperti dulu lagi
ditulis oleh :
Tommy Nugraha Wahyudin
XII TKJ 4
Unsur instrinsik
Tema : Lingkungan sekitar (Indonesia)
Latar : Ibukota
Amanat : Jadilah orang yg amanah, peduli sesama dan jagalah bumi ini agar lestari.
Majas : Metafora, Repetisi, ironi , dll.
Sudut Pandang : Pengarang menyaksikan langsung sekaligus sebagai pencerita
Unsur ekstrinsik
Latar belakang : Kekecewaan terhadap Negeri yang carut-marut ini.
Tema : Lingkungan sekitar (Indonesia)
Latar : Ibukota
Amanat : Jadilah orang yg amanah, peduli sesama dan jagalah bumi ini agar lestari.
Majas : Metafora, Repetisi, ironi , dll.
Sudut Pandang : Pengarang menyaksikan langsung sekaligus sebagai pencerita
Unsur ekstrinsik
Latar belakang : Kekecewaan terhadap Negeri yang carut-marut ini.
Pendidikan : Pelajar di SMK BKM2
Politik : Golput
Politik : Golput
Agama : Islam
0 komentar:
Posting Komentar